Today's Highlights

Articles from Us

Editor Favorites

Latest Updates

Pembelajaran Berbasis Proyek Mata Kuliah Wajib Kurikulum Universitas Siliwangi

November 13, 2023
Pembelajaran Berbasis Proyek Mata Kuliah Wajib Kurikulum Universitas Siliwangi
Judul :  Pembelajaran Berbasis Proyek Mata Kuliah Wajib Kurikulum Universitas Siliwangi
Penulis : Anwar Taufik Rakhmat, M.Pd. Et al
ISBN : -
Harga : IDR 50.000,-

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

Hadirnya modul pembelajaran ini merupakan salah  satu bukti nyata dalam upaya penguatan dan pengembangan  pembelajaran pada Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK)  di Perguruan Tinggi. Mata Kuliah Wajib Kurikulum  merupakan bagian kurikulum perguruan tinggi yang wajib  diberikan kepada mahasiswa. Untuk menghasilkan hasil  pembelajaran yang bermakna dan mendorong kepada hasil  pembelajaran yang optimal diperlukan segenap komponen  pembelajaran yang mendorong potensi mahasiswa diaktualisasikan dengan baik dan diarahkan kepada peningkatan karakter serta kompetensi yang dibutuhkan mahasiswa. Model Pembelajaran berbasis proyek merupakan salah satu model pembelajaran yang membimbing mahasiswa agar memiliki kepekaan terhadap persoalan yang ada di sekitar mereka dan mampu mengidentifikasinya, menganalisis dan mensintesisnya, kemudian berupaya mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapinya. Dengan diawali pembekalan terhadap literasi atau materi kuliah yang cukup, mahasiswa diharapkan mampu mendapatkan pengalaman pembelajaran yang bermakna dan berdampak pada kognisi, dan afeksi mahasiswa. Buku ini merupakan panduan bagi dosen dan mahasiswa untuk bisa menjalankan aktivitas perkuliahan Mata Kuliah Wajib Kurikulum berbasis proyek. pada modul ini dosen dan mahasiswa dipandu untuk bisa menjalankan perkuliahan dengan memanfaatkan semua sumber pembelajaran yang ada, dengan tema yang disediakan mahasiswamenentukan topik dan objek yang kemudian dijadikan proyek bersama kelompok. Pada prosesnya proyek kelompok adalah kolaborasi dari dua mata kuliah MKWK yang dilakukan secara bersama-sama, baik Mata Kuliah Agama, Bahasa Indonesia, Pancasila maupun Kewarganegaraan. 

Buku Pembelajaran MKWK berbasis proyek ini berisi tentang konsep umum tentang Mata Kuliah Wajib Kurikulum, Pembelajaran MKWK berbasis proyek, materi pokok pembelajaran, tema dan topik Proyek, langkah dan prosedur proyek, asesmen, dan Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Dengan adanya Modul pembelajaran Mata Kuliah Wajib Kurikulum ini, diharapkan seluruh dosen dan mahasiswa serta pihak yang terkait bisa terbantu dan terbimbing dalam pelaksanaan pembelajaran MKWK berbasis proyek, untuk kemudian dapat meraih hasil pembelajaran yang optimal dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan di perguruan tinggi. Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam tersusunnya modul pembelajaran MKWK berbasis proyek ini. Kami juga menerima saran dan kritik demi perbaikan selanjutnya.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Agama Pas

Oktober 19, 2023
Agama Pas
Frithjof Schuon

Barangsiapa bertindak keterlaluan, pasti akan menyimpang dari kebenaran
—Imam Ali, Karramallah Wajhah

AGAMA—terlebih agama yang dikenal dan dikukuhkan manusia sekarang—datang dari dua arah ranah: langit dan bumi. Dari dua arah dan ranah ini subjek dan objek silih berganti. Ada kalanya subjeknya Tuhan dan objeknya manusia—atau subjeknya manusia dan objeknya Tuhan. Kedua hal ini berpengaruh pada satu persepsi mengenai sentrisme: entah itu antroposentris atau logosentris. Karenanaya jika logika yang digunakan oposisi biner, maka implikasi yang mengikutinya juga akan mengkutub di satu bilah.

Dalam skema logosentris, yang menjadi sentral adalah Tuhan. Agama dimaksudkan semata-mata untuk meraih singgasana keilahian semata. Jikapun yurisprudensi ditata dan hukum diatur semata-mata untuk memistari laku manusia. Segala sesuatu yang tak pas dengan kehendak yurisprudensi itu dipapakkan sedemikian rupa. Manusia dengan segala diversitasnya—baik secara mental dan spiritual—adalah nista adanya: produk sebuah tingkatan eksistensi rendah. Oleh karena itu, manusia adalah abdi Ilahi. Titik! Agama adalah produk baku, padat dan siapguna.

Lain hal jika antroposentris. Pusat adalah manusia, sebab itu Agama turun atau timbul ke permukaan disebabkan oleh urgensitas manusia. Agama adalah jawaban dari kebutuhan manusia pada yang Ilahi. Jika selama ini manusia banyak menemukan di lingkungannya sebuah kaos, berupa ketaktertataan, maka ia akan meninjau ke luar dirinya dan mencari kosmos. Artinya, manusia merindukan sebuah ekuilibrium kosmologis yang melampaui kehidupannya yang terlampau kaos.

Tapi titik pusat adalah manusia. Jika kemudian agama ada—sejauh tatapan antroposentris ini—maka ia hanya sebuah garis yang tak tegak lurus. Jika ada garis dan batas, maka ia harus sesuai dengan apa maunya manusia. Di sini agama berdinamika dengan semua perubahan pada manusia. Demikian pula dengan yurisprudensi, terus diubahsuai. Tidak hanya sebatas itu, Tuhan sebagai satu cita-cita luhur direkonstruksi, atau bila perlu didekonstruksi. Semakin reduktif Tuhan, semakin subtil manusia bisa mengenalnya.

Agama Pas
Agama-Agama


Kemudian implikasi dari kedua pengkutuban ini akan tampak pada bagaimana agama bekerja sebagai sebuah tata dan cara dalam kehidupan. Jika kita meninjau ujung dari kutub logosentris, kita akan menemukan tatanan sosial yang baku, kaku dan tak pandang bulu. Bagaimanapun manusia tak bisa bernegosiasi mengenai tatanan Ilahiyah yang datang sebagai hukum. Dari jihat ini kita akan menemukan darah dialirkan demi agama, demi Ia yang singgasana-Nya hanya bisa dijangkau oleh pekik pada liyan, oleh seruan yang kadang hanya bisa diterjemahkan oleh gada, hunus dan berangus. Di titik ini, agama jadi sesuatu yang semena-mena.

Sedangkan ujung dari antroposentris, kita akan menemukan bahwa agama adalah alat. Sifat sebuah alat tak lebih unggul dari penggunanya: manusia. Manusia mencari Tuhan, tapi sejak semula ia menuhankan dirinya sendiri dengan kemutlakan relatif. Agama, karenanya menjadi relatif, juga Tuhan dan hukum yang menyertainya. Manusia mengangankan sebuah kosmos yang dirumuskan sejak semula oleh kaos. Titik beku (dead lock) dari kutub ini adalah sebuah fenomena sahihnya segala hal. Desakralisasi pada tatanan Ilahi yang—tentu saja tak tepermanai—adalah tanda fenomena sosialnya.

Kekeramatan, khidmat, dan kerendahdirian pada keindahan (beauty), kontemplasi dan kesabaran, sebagai gerbang dan Ibu bagi kelahiran manusia ke dunia Ilahi yang kosmos terkikis dan putus. Di hadapan mata seorang antroposentris naif, waktu adalah segala-galanya. Simultanitas tak terbatas dari waktu menyegerakan dan menggerakkan manusia untuk berlaku produktif di hadapan dunia-realitas. Di titik ini, rahim agama yang di dalamnya terdapat kesakralan yang di antaranya: waktu suci, ruang suci, tindakan suci dan ucapan suci—boyak dan koyak. Dari ranah ini tak akan terlahir tatanan realitas yang solid, karena agama adalah angan-angan.

Kedua paradoks yang penulis kemukakan di atas adalah wajah agama sekarang ini. Kebingungan dasariah ini sudah tak lagi wajar, karena menyita aspek fisik lebih banyak dan perhatian lebih dari setiap manusia. Di sini tak ada pengecualian bahkan bagi mereka yang tak masuk dalam kategori beragama. Bagaimanapun apatisme dan syakwasangka akan memperrumit kejernihan yang musti ditempuh demi sebuah ekuilibrium: berkenaan dengan dua paradoks besar ini. Spiritualitas yang diharapkan berperan sebagai jantung pertemuan antara Tuhan dan manusia sedang diambang punah. Hal ini disebabkan oleh deras dan semakin mengkristalnya dua kutub di atas tadi. Agama ramah selalu dibantah oleh agama marah. Manusia juga selalu terjebak oleh kategori yang dibuatnya sendiri. Tapi juga kita tak selalu setuju dengan arus posmodern yang serba relatif itu.

Agaknya, persoalan kita di zaman ini bukan perkara bagaimana agama jadi ramah, atau manusia jadi tak berlebihan. Melainkan sebuah masa dimana setiap orang musti mencari satu kata “pas” yang bukan semata-mata relatif dan karenanya tiap orang jadi benar. Tapi sebuah “pas” yang teduh dimana manusia bisa bernaung, entah dari kesemena-menaan agama dan atau dari manusia itu sendiri. Yakni sebuah “pas” yang telah ada sejak permulaan jagat tercipta sebagaimana QS: 25: 2. Dimana “pas” ini adalah, sebagai apa yang oleh Frithjof Schuon katakan: pertemuan antara Tuhan sebagaimana adanya, dengan manusia sebagaimana adanya.[]

Penulis : Syihabul Furqon
Tahun : 2016

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan

Oktober 19, 2023

 

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan
Don Quixote

Cerita Don Quixote - Di abad-abad silam, sahibul hikayat Seyyed Ahmad Benengeli mengisahkan perjalanan kekesatriaan yang luhur—atau bisa kita anggap konyol dan sia-sia—yang secara baik diteruskan dan dicatat oleh Miguel De Cervantes. Epik majenun-imajinatif Petualangan Don Quixote tentu saja bukan hanya sekedar cerita sebelum tidur bagi anak-anak—bahwa sejatinya buku merupakan pemantik bagi imajinasi. Lebih dari itu, petualangan yang ditempuh Quixote adalah kesedihan (seperti diungkapkan Goenawan Mohammad) dan juga perayaan atau tepatnya karnaval kegilaan. Orang-orang di zaman ini akan mengidentifikasinya sebagai gejala Posmodernisme. Yakni suatu sikap dimana yang banal dirayakan tapi sekaligus simptom skizofrenik juga ikut meluap. Anehnya Quixote tak melulu berada dalam waham dan syakwasangka. Ia memegang satu pendirian unik, jika tidak dikatakan iman. Dalam hal ini iman bagi Don Quixote de La Mancha adalah ketulusan hati, rasa welas, cinta yang tulus, dan derma, juga ikhlas pada takdir kesatria. 

Pun tak ada yang menyangkal bahwa dalam hal-hal tertentu kegilaannya mirip Majenun pada Layla atau Gibran pada Salma, atau Sandip pada Bimala: atau mungkin justru bermula dari satu akar tradisi Benengeli sendiri. Yang pasti, Don Quixote merupakan representasi dari kematian (death) dan kehidupan kembali (resurrection). Yang mati di hikayat itu adalah kemandekan yang juga berarti kebuntuan. Sedangkan yang bangkit adalah kebebasan dan keliaran eksistensial. 

Dalam diri manusia tentu kia mengenal kematian eksistensial dimana tubuh tak lagi dialiri darah dan ditinggal nyawa. Tapi ada mati yang lain, yakni kemandekan. Yaitu fase dimana tak ada lagi sesuatu yang menarik untuk dijalani. Realitas monoton dan itu-itu saja, tak ada transformasi apa lagi revolusi. Laku sehari-hari kehilangan ruh dan girahnya. Imajinasi padam sama sekali dan manusia berada pada level kegelapan.

Karena itu wahyu perlu turun (revelation). Dalam hikayat Don Quixote wahyu tentu bukan kepak sayap malaikat Jibril yang memekakan telinga. Wahyu yang diturunkan Tuhan pada Don Quixote adalah tanda dan kelakar. Tak dipungkiri bahwa manusia sesekali perlu untuk menertawakan parilakunya, tindakannya. Don Quixote berdiri dan menari di atas panggung itu. Hikayatnya sendiri adalah wahyu bagi manusia yang sejatinya diliputi tindakan gawal. Karena Tuhan adalah kasih itu sendiri maka ia mengetengahkan Don Quixote untuk  menjadi salah satu tanda dan suar. Maksudnya adalah bahwa hanya dalam Iman yang seliar Don Quixote lah kita akan menemukan tualang yang hidup, berdarah dan berdaging. Dalam bahasa kita sekarang: petualangan yang greget. Maka, Don Quixote de la Mancha menghidupkan apa yang sebelumnya mati: imajinasi, kejutan, gairah, spontanitas, cinta, petualangan dan buku (yang dianggap terkutuk) tentu saja. Jika dilihat dari kacamata orang biasa (baca: waras), tak ada yang baru dalam tindakan segila Don Quixote. Tapi jika kita masuk sedikit ke dalam, Don Quixote dengan tindakannya menawarkan satu perspektif baru. Yakni melihat segalanya dengan kacamata proses kebaruan. Setiap hal adalah baru dan karenanya tindakannya juga baru: meski tujuannya sama.

Don Quixote, Buku dan Gairah Edan
Don Quixote

Tapi bisakah kita membayangkan bagaimana Don Quixote berpetualang tanpa Sancho dan kudanya, Rozinante yang gagah? Hikayat itu dengan jeli menyematkan Sancho dalam lakon Quixote. Bukan untuk apa-apa selain melengkapi kegagahan dan kegarangan tekad Don Quixote dengan kecintaan Sancho pada kedamaian. Saya akan menukil satu cuplikan bagaimana Don Quixote  menghendaki sikap keberanian dan Sancho menampilkan sikap kasih:
“Tuan, aku bukan orang yang suka berperang, seperti anda, tetapi orang yang cinta damai, mungkin seperti seorang suami dan ayah yang baik. Mohon catat itu dari sekarang bahwa aku akan memaafkan semua orang, yang telah atau akan, menjadi musuh-musuhku, apakah mereka bangsawan, raja, atau orang biasa.”

Don Quixot gerah mendengar semua ini. “Apa kau pengecut! Bagaimana kau bisa memimpin sebuah pulau atau karajaan? Seorang pemimpin besar harus tidak takut pada apa atau siapa pun.”
 
Dari sana kita melihat bahwa memang kedua petualang itu saling melengkapi. Dimana yang satu bersemangat untuk mendobrak ke sana dan ke mari sedang yang yang satunya lagi menenangkan dobrakan itu. Terlepas dari kenyataan bahwa Don Quixote gila dan Sancho mengetahui kegilaannya, Sancho tetap mendampingi Don Quixote. Pertanyaan demi pertanyaan muncul jika kita mengikuti cerita ini, karena memang itu tujuannya: membangkitkan pertanyaan. Hikayat ini bukan saja mengemukakan gagasan yang nyeleneh, tapi juga menularkan imajinasi itu sendiri.

Di awal cerita, kita akan menemukan bahwa seolah-olah imajinasi adalah sesuatu yang terkutuk dan mengantarkan pada kegilaan dan penderitaan. Kemuakan pada narasi awal cerita ini mungkin dialami para pembaca dan memutuskan untuk berhenti. Karena buat apa, toh isi ceritanya hanya kelakar dan olok-olok pada hidup yang teratur, tenang, meski tanpa gairah sama sekali. Kesabaran dibutuhkan untuk membaca hikayat konyol ini—tentu saja dengan sejumlah imajinasi yang aktif dan liar untuk mengimbangi kegilaan kisah petualangan Don Quixote sendiri.

“Hidup memang selimbur kejutan.” Demikian Sancho berujar pada Don Quixote. Dan kita, pembaca, juga menemukan cerita itu meledak-ledak penuh kejutan, penuh dengan semangat. Ada yang coba dihidupkan dari diri manusia, dibangkitkan. Menghidupkan sesuatu yang mati bukan perkara mudah, darah hanya menyatu dengan darah. Karenanya kisah berdarah-darah ditonjolkan. Pertanyaan lagi; apa yang mati dalam hikayat ini selain realitas yang menjadi banal dan tanpa gairah? Jawabannya tergeletak begitu saja ketika kita masuk dalam cerita: buku. Kita tahu bahwa buku bukan hanya benda mati dalam kisah ini, tapi justru yang sangat berperan dalam keseluruhan cerita. Sebuah buku adalah gerbang dunia, kata beberapa orang. Di dalamnya termaktub lebih dari selaksa pengetahuan, lebih dari tumpukan asumsi dan lebih dari sekedar imajinasi.

Jika dikatakan bahwa sebuah buku memiliki realitasnya sendiri. Ya, Don Quixote menampilkan itu. Jika dikatakan bahwa buku merupakan sumber pengetahuan—bahkan membentuk sikap. Jawabnya, ya, karena Don Quixote menunjukkan itu. Jika dikatakan bahwa buku juga terkutuk karena mengajarkan manusia untuk berimajinasi liar, mencoba hal yang baru. Jawabannya tentu, ya, Don Quixote hidup dengan itu semua. Di titik ini perlu kita kembali pada pengarang, Seyyed Ahmad atau pada Miguel De Cervantes.

Hikayat ini, yang terpublikasi secara luas pada paruh abad pertengahan atau awal Renaisans menyuarakan pekik yang tajam pada revolusi. The Dark Age dalam hal ini menjadi momok dimana kemandegan terjadi bahkan dalam ranah-ranah spiritualitas. “Takhayul,” seperti dikatakan penyair Renaisans Francis; Voltaire mengungkapkan bahwa sedang “membakar dunia.” Bahwa tak ada celah dimana hidup manusia tanpa takhayul. Sialnya, takhayul ini tak mentransendensi pikiran ke ranah yang lebih ningrat, lebih tinggi. Ia meluluhlantakkan manusia menjadi makhluk pendamba kepatuhan buta, taklid yang tak asyik.

Di zaman itu, agama adalah kekuasaan. Spiritualitasnya hilang oleh ketamakan dan kehendak yang mencengkeram. Terkahir dari kampiun gila zaman tegang itu adalah Nietzsche yang segila Don Quixote dengan lakonnya yang gagah membakar berhala di alun-alun pasar: Zarathustra. Kelak, Zarathustra coba dibangkitkan dan dikembalikan ke gelanggang pasar oleh Herman Hesse di awal abad 20 demi mengingat satu hal yang luput dari manusia: bangkitnya tragedi yang sia-sia akibat perang dunia dan terdegradasinya manusia sedemikian rupa.

Oleh karena itu tak syak lagi bahwa Don Quixote sedang mengupayakan kesadaran dan iman. Kita juga melihat, cintanya Quixote pada Dulcienna melimpah tak bersebab tak berpangkal. Cintanya itu juga merupakan iman yang pancang pada pengabdian: atau kegaiban yang purna. Sedang kegilaannya mengiktibarkan pada kita bahwa hidup manusia bukan hanya sekedar hari-hari yang berulang tanpa gairah, tanpa isi.

Jika kisah ini dikontekstualisasi dengan realitas hari ini, bagaimana jadinya? Jika kemengulangan hari-hari sudah lagi tanpa ruh, jika iman telah lagi tanggal satu-satu, jika buku tak lagi seksi dan menarik untuk ditelaah dan dibaca, jika tak ada lagi penghayatan, wahyu menjadi perebutan kepentingan, cinta tak berpangkal pada spiritualitas dan pembebasan—singkatnya realitas banal tanpa kedalaman—apa yang harus kita lakukan? Saya sarankan kita perlu sedikit meniru Don Quixote De La Mancha.[]

Pernah Dimuat Di : Radar Sumedang.
Penulis : Syihabul Furqon

Ibn Sina : Kitab Penyembuhan Ilahiah

Oktober 19, 2023
Judul :  Kitab Penyembuhan Ilahiah 
Penulis : Ibn Sina
Penerjemah : Syihabul Furqon
ISBN : -
Harga : IDR 100.000,- 

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

KITAB PENYEMBUHAN (As-Syifa’/Sufficientia), Ibn Sina (Avicenna): Ilahiah (Metafisika), merupakan kitab magnum opus dalam domain filsafat Islam Peripatetik. Ditulis oleh Seikh Rais dengan corak integrasi pelbagai doktrin hikmah/falsafah (philosophia) dalam arti tradisionalnya. Sebagaimana dalam tradisi filsafat tradisional yang berakar pada nubuat, kitab ini memberikan isbat yang mengikat dengan nuansa proposisi ketat distingsi antara kutub-kutub domain Wujud Wajib dan Wujud Mungkin. Bagaimana Yang Wajib niscaya Esa (Singular), dan bagaimana darinya melimpah Maujudat (eksisten-eksisten) dalam drama kosmik penurunan bertahap dengan seluruh had, daya, akal, serta jiwa sampai pada titik tolak kembali dalam kenaikan bertahap melalui poros gravitasi cinta dan kerinduan atas Yang Sempurna lagi Wajib. Dengan cara saksama juga diterangkan isbat atas nubuat, sekaligus sebagai isyarat bahwa untuk mencapai Yang Metafisis sang metafisikus  (arif/gnostikus) dibebani oleh limitasi dan hanya saluran tradisilah yang dapat menghubungkan antara Yang Metafisis dan metafisikus vice versa.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Etika Kesarjanaan

Oktober 18, 2023

 

Etika Kesarjanaan
Etika Kesarjanaan - Oleh : Syihabul Furqon  |  Credit: Nosyrevy

Belakangan ini tiba-tiba beranda laman facebook dipenuhi oleh perdebatan mengasyikan mengenai saintisme dan sains. Tarik ulur penempatan kedudukan dan implikasi istilah ini dipicu oleh tulisan Goenawan Mohammad (GM). Kemudian respons bermunculan, antara lain dari A. S. Laksana, Nirwan Arsuka, Ulil Abshar, Taufiqurrahman, F. Budi Hardiman, F. K. Sitorus, hingga Budhi Munawar dan lain-lain yang belum saya jangkau. Belum lagi respons luaran baik sekadar afirmatif, negatif, atau satir, bahkan argumentum ad hominem. Di tengah pegebluk Cov-19, saya menemukan keasyikan intelektual yang tidak sekadar bernada informatif namun kering kritik, atau sekadar kritik tanpa kedalaman. Diskusi ping-pong ini lain sekali, sebab saya seakan dibawa pada khazanah (percopetan) soal kebenaran. Diskusi belakangan kian teknis, rujukan kian jelas, demarkasi kian ditegakkan, demi kejelasan. Saya hendak ikut juga, dengan gaya seloroh. Ya, itung-itung saya ikut boncengan para empu lah. 

Urutan saya membaca diskusi ini bermula dari tulisan GM. Dalam tulisan GM yang pertama memicu diskusi, saya menemukan tulisan itu mewaspadai satu hal: saintisme. Selanjutnya saya menemukan tulisan Ulil yang nadanya sama: waspada pada kecongkakan saintisme. Saya menemukan tulisan A.S. Laksana, dengan nada membela sains. Pembelaan kemudian dikukuhkan lagi oleh Nirwan Arsuka pada sains, bahkan dengan penekanan dramatis di akhir tulisan. Kemudian ternyata ASL dan Nirwan direspons kembali oleh GM. Kemudian selang beberapa hari saya menemukan tulisan F. Budi Hardiman membawa sejumlah jembatan pada jurang diskusi. Tak lama Budhi Munawar juga memberikan respons dengan membawa diktum dan penjelas-penjelas ihwal distingsi Sains dan Saintisme. 


Sains dan Sikap

Tidak saya pungkiri pagebluk Cov-19 ini memicu soal-soal mendasar. Pertama kita semua mengharapkan sains segera berhasil menemukan vaksin. Sebab kita semua sedang berhadap-hadapan dengan penyakit--bahkan kematian. Tapi setiap kali pertanyaan "kapan sains menghasilkan vaksin?" ini muncul, mau tak mau pikiran saya kembali pada banyak catatan kaki bahwa sains adalah satu hal dan sikap hidup adalah hal lain. Terutama bila kita membayangkan dimensi lain di luar sains, politik misalnya, yang justu kerapkali mengeruhkan ilmu.

Saya apriori bahwa semua yang terlibat diskusi ini memaklumkan satu hal: ilmu pasti adalah satu hal, namun saat ia digunakan ia telah mengandung maksud-maksud. Tulisan F. Budi Hardiman dengan terang menjelaskan pada kita bahwa sains tidak dapat kita maknai secara lurus. Ia bisa bengkok. Terutama bukan karena kebenarannya. Tapi karena manusianya.

Di januari tahun ini, saya menonton serial Netflix berjudul Chernobyl. Tentu saja saya tidak perlu menerangkan Chernobyl itu kejadian apa. Yang pasti ini bukan kejadian ramalan angin-anginan yang menyebut nanti bulan puasa tahun ini (2020) akan ada "dukhon" (asap/rokok?) yang merupakan tanda kiamat. Chernobyl adalah mala yang diakibatkan oleh saintis(me) yang telah bertaut dengan politik. Tak lama setelah saya nonton Chernobyl, di Indonesia, di awal tahun ini (2020) juga ditemukan paparan radiasi nuklir di Tangerang tempo lalu, yang berasal dari limbah nuklir yang ditimbun secara sembrono. Berita ini menyebar melibatkan asumsi-asumsi dan fakta-fakta menarik: konon diperjual belikan, konon sekadar ditimbun, entah apa lagi. Yang jelas: mustahil tukang bakwan (bala-bala) melakukan penimbunan barang di luar jangkauan pengetahuannya. Kalau tukang bakwan ini tahu bahwa harga kol dari petani bisa 40% lebih murah sebelum ia masuk ke pasar, itu wajar sebab ia berurusan dengan komoditas itu. Tapi dari sini kita tahu bahwa pengetahuan adalah satu hal dan praktik adalah hal lain pula. Kita jadi tahu bahwa seringkali persoalan modal (kapital) bisa mempengaruhi pasar secara signifikan, baik untuk harga kol maupun limbah radioaktif. Saya yakin pembaca sekalian tahu ini arahnya ke mana.

Jadi kapan vaksin akan ditemukan? Sekarang kita hanya bisa menjawab dengan was-was. Bersyukur tidak sambil bisik-bisik: andaikata ada intel yang nyamar jadi penyimak diskusi ini sebab manatahu tiba-tiba jadi diskusi pemakzulan presiden (helaw..). Kita was-was sebab sains seringkali telah menjadi lembaga, sebagaimana dipermaklumkan GM dan ia telah jadi sikap saintisme. Kewaspadaan ini bukan tanpa alasan, sebab kita tahu kecenderungan politik Indonesia, sebab kita juga mafhum bagaimana negara-negara modal meregulasi kebijakan melalui PBB--dalam hal ini WHO. Kita tidak bermodalkan ramalan angin-anginan, kita bermodalkan pengalaman (artinya waktu) dan kejadian-kajadian saat kita mewaspadai maksud politik. Maka saat kita bicara sains, kita bicara orang, sikap dan oleh sebab itu mengandung ambivalensi. (Jangan jangan sebenarnya 'kita tak banyak tahu').

Saintis  |  Credit : YummyBuum
Saintis
Saat bicara saintisme, kita menengok penerapan bom atom. Tentu saja kita tak menyalahkan teori kuantum, atau Einstein. Kita mempersoalkan sikap. Umberto Eco bilang "atom-atom kita merasa sedih karena mereka diletakkan di  dalam sebuah bom atom," dalam "Bom dan Sang Jenderal." Atom di sini netral, ia sedih saat kenetralannya dibingkai dalam "makasud" yang mewujud dalam "bom atom."

Maka, sains harus diperiksa. Jangan-jangan ia telah jadi isme, sebagaimana positivisme bermasalah, realitas mekanika newtonian mengkerangkeng pelangi bagi sastrawan, bahkan Darwinisme telah memicu rasisme ilmiah. Lihat, dunia sedang dilanda pagebluk, sementara di Amerika saat ini (Juni 2020) masalah rasisme memicu gelombang akbar protes masal di seantero negeri Tony Stark itu. Saya jadi ingat pernyataan dalam sebuah pengantar untuk novela Machado de Assis berjudul Sang Alienis (kitab terbitan 2019 silam oleh penerbit Trubadur): apa yang terjadi jika ilmu pengetahuan keliru? Novela ini bicara tentang seorang psikolog yang mendiagnosa gering jiwa, yang mengakibatkan semua orang termasuk dirinya (si ilmuwan) juga gering. Novela ini sebuah lelucon pada sesuatu yang kini dapat diyakini serupa Tuhan: sains--yang sikap itu jadi saintisme. Olok-olok ini serupa Sigmund Freud yang mengatakan bahwa orang beragama itu pengidap neurotik--sampai kemudian diketahui bahwa gejala neurotik itu inhern dalam diri manusia, sebab tak ada yang tak bisa dijadikan idol bagi manusia: bahkan pada persamaan. Artinya: Freud neurotik juga. Artinya: "siapa yang gila ketika anda menuduh saya gila sementara anda sendiri gila?" Tapi neurotik tidak dapat secara sembrono diterjemahkan sebagai gila.

Sikap-sikap manusia di hadapan ilmu akan jadi naif bila motifnya bukan kebenaran dan kemaslahatan. Ada etika di sana. Saintis bila hanya dituntun oleh kebenaran--saat mengaplikasikannya--maka ia bisa serupa Thanos: benar tapi tak manusiawi. Memang kita bisa membayangkan manusia dalam benak Thanos itu seperti apa: itu ibaratnya seperti para bajingan, koruptor, politisi busuk, ilmuwan lacur, agamawan lancung dan peminjam uang tapi emoh bayar utang, pengkritik tak tahu diri. Singkatnya katastrofi yang diakibatkan kemanusiaan itu sendiri. Thanos jangan-jangan juga adalah kita. Tapi saya bahas Thanos sampai sini saja dulu, sebab gara-gara pagebluk ini film-film baru diundur jadwal tayangnya. No time for die, babe...


Sains-Agama

Sayangnya, diskusi agama yang sering disinggung dan dikenal umum adalah agama dalam gema teologis (kalam), dan yurisprudensi (fiqh). Seringkali luput melibatkan agama dalam kedudukannya sebagai sains sakral (dalam spektrum philosophia perennis/al-hikmah al-khalidah) atau secara umum dikenal sebagai sufisme.

Diskusi agama dalam nuansa teologis, adalah diskusi yang melibatkan kekuasaan, dan berdarah. Tidak hanya dalam relasi antar iman, melainkan antar mazhab, sektarianisme. Ulil telah memaparkan hal ini. Di pihak Kristen juga demikian, dan ini mungkin yang kerap menjadi patokan friksi sains-agama. Terutama saat inkuisisi bagaikan 'teleskrin' dalam sensor alegoris Orwell di 1984.

Sekalipun sejarah teologi dalam Islam seringkali disinonimkan dengan Eropa abad pertengahan, intinya sama, teologi yang bertaut sedikit banyak dengan filsafat memunculkan sejumlah soal yang tidak selesai sekadar oleh proposisi, melainkan oleh kuasa. Dengan besi dan timah. Dalam soal ini kita dapat melihat gejala dan fakta melalui "Munqidz min al-Dhalal", dimana Al-Ghazali mengungkap betapa sengitnya para teolog bertarung, termasuk dirinya, yang saat melakukan hal itu seringkali motifnya adalah popularitas, sebagaimana disesali Al-Ghazali sendiri.

Etika Kesarjanaan - Al Ghazali
Al - Ghazali
Dalam Islam, periode Al-Ghazali adalah periode tikungan tajam yang dimenangkan oleh teologi dalam bingkai kekuasaan. Peripatetisme Islam yang diwakili Ibn Sina, dianggap mati. Ilmu dianggap kalah oleh Iman. Padahal sekadar permainan patronase kekuasaan pada mazhab teologi tertentu. Kawan diskusi Al-Ghazali sendiri, Umar Khayyam, toh adalah seorang peripatetik dan saintis ulung. Dua orang ini bekerja di bawah lembaga berbeda tapi dari satu kekuasaan: Wazir Nizamul Mulk. Bedanya Al-Ghazali menempati posisi rektor An Nizam dan menjadi otoritas teologi (sampai ia meninggalkan jabatan ini). Sementara Umar Khayyam menempati laboratorium astronomi dan mengepalai para saintis untuk merevisi kalendar Persia. Khayyam dan timnya berhasil merevisi kalendar Jalali yang hingga kini digunakan. Artinya di aras teoritik, perselisihan paling banter sekadar ad hominem sebagaimana yang dilakukan banyak penulis saat melancarkan kritik. Tidak lebih sekadar gimik untuk menarik perhatian dan perdebatan. 

Pada level praktik? Mari kita lihat Ibn Sina. Oleh Al-Ghazali, dalam Tahaful Al Falasifah, antara lain Ibn Sina dianggap sesat, bahkan pemikirannya dikafirnya. Tulisan Al-Ghazali ini bernuansa argumentum ad hominem sangat kental sekali, sebab ia sedang hendak mencari perhatian. Tidak tanggung-tanggung, filsuf yang diserangnya Ibn Sina serta Al-Aristu (Aristoteles). Tapi ini sekadar mencari perhatian: sekalipun ada beberapa poin yang memang patut diperhatikan dari kritik Al-Ghazai. Pada faktanya, Ibn Sina sendiri seorang ahli dalam kontemplasi batin. Hal ini tampak dari otobiografinya yang disertakan dalam pengantar kitabnya An-Najat. Saat menemui kebuntuan dalam persoalan medis maupun filsafat, Ibn Sina selalu melaksanakan salat dua rakaat dan seringkali dalam salat itulah jawaban-jawaban ditemukan. 

A. J. Arberry, dalam Avicenna on Theology, memaparkan bahwa sekalipun Ibn Sina dituduh pembidah, kehidupannya didasarkan pada fakta bahwa ia adalah seorang yang taat beribadah. Bila kita periksa lebih jauh, terutama pada karya paling belakang, Ibn Sina memberikan pijakan pada semacam Mistisisme Filosofis. Seyyed Hossein Nasr memberikan semacam anasir pada kita bahwa dalam Manthiq Al-Masyriqiyyin (Logika orang-orang timur), Ibn Sina sedang merintis jalan pada scientia sacra (al hikmah al khalidah). Saya sendiri menemukan jalan pada sains sakral dalam Ibn Sina melalui kitab ringkasan As-Syifa (ini merupakan kitab filsafat Ibn Sina yang sering dikelirukan dengan kitab kedokterannya Qanun fi At-Thib): Al-Isyarat wa at-Tanbihat (Remarks and Admonitions). Kitab ini berdurasi empat jilid memuat antara lain: Jilid satu bicara logika, dua bicara fisika, tiga metafisika dan empat mistisisme. Saya sedang mengupayakan terjemahan lengkap kitab ini dalam salah satu seri filsafat dan sains sakral, sudah dimulai dari kitab Khayyam, Fi Al-Jabr wa Al-Muqabala (Ihwal Al Jabar dan Persamaan, 2019) dan akan menyusul kitab Al-Kindi, Fi Al-Falsafah Al-Ula (Mengenai Filsafat Pertama) dan empat jilid kitab Isyarat, Ibn Sina (mayan promosi ini oiiiii). Nah dalam jilid empat itulah Ibn Sina dengan jelas memasukkan epistemologi sakral dalam dua bab terakhir berjudul "fi maqamatil arifin" (ihwal kedudukan-kedudukan spiritual para arif). Jadi serangan Al-Ghazali sekadar parsial dan meleset jauh dari aspek substansial. Pengkaji filsafat Islam tahu betul di mana letak kekeliruan Al-Ghazali dan di mana kelemahan Ibn Sina, seraya dapat membantah bahwa dalam Islam filsafat tidak mati.

Hanya orang-orang jumud (nan kurung batokeun) kurang piknik, yang menyebut filsafat (termasuk sains) mati dibunuh Al-Ghazali.

Demikian pula bila kita bicara agama (Islam) dalam perspektif yurisprudensi (fiqh). Kita tak perlu naif untuk tidak mengatakan bahwa hukum positif sangat erat hubungannya dengan kekuasaan. Spiritualis, Bambang Q. Anees memaklumkan bahwa fiqh adalah fiqh pemenang. Artinya ini macam sejarah: ia ditulis pemenang. Lihat saja betapa isu-isu kacangan macam Bahaya Laten PKI, Mamarika, Wahyudi, Free Mesen (pulang bayar), masih laku, masih bisa jadi teror, masih bisa jadi joban buzzer. Teoritikus konspirasi (wkwowkwowkwok) bahkan meyakini Cov-19 adalah senjata Komunis hanya karena ia berawal dari China, untuk menggungcang tatanan ekonomi global demi terciptanya tatanan masyarakat tanpa kelas. Lanturan ini direspons oleh meme teman-teman filsafat: 
A "Bro, sosialisme menang. Marx berhasil!?"
B "Lha, kok bisa?"
A "Iya soalnya kita sekarang para pelajar nggak masuk kelas."
B "krik-krik-krik-krik..."


Etika Kesarjanaan
Dalam diskusi soal sains dan saintisme, sejak awal saya hanya menyoriti satu hal: hilangnya etika kesarjanaan. Etika kesarjanaan ini penting digaris bawahi, dijadikan kampanye, dibuatkan baligo, disebar ke mana-mana. Tanpa ini, yang muncul adalah arogansi intelektual.

wama taufiqi illa billah...

Syihabul Furqon
Juni 2020

Ibn Sina Isyarat dan Perhatian : Fisika

Oktober 18, 2023
Judul :  Ibn Sina Isyarat dan Perhatian : Fisika
Penerjemah : Syihabul Furqon
ISBN : 9786239493264
Harga : IDR 100.000,- 

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

SEJUMLAH orang percaya bahwa setiap wadag memiliki sambungan (dalam kasus tubuh manusia ini berarti persendian/penghubung) yang menyatukan bagian-bagian yang bukan wadag melainkan yang darinya wadag tersusun. Mereka juga mengklaim bahwa bagian-bagian yang demikian itu tidak menerima pembagian entah dengan patahan, dengan potongan, dengan pengandaian, atau dengan hipotesis, dan bahwa bagian-bagian itu berada di tengah-tengah pengelompokan yang mencegah dua (kutub) ekstrem dari kontak (satu sam alain) (h. 153).

Mereka tidak tahu bahwa jika (bagian) perantara itu demikian, masing-masing dari dua ekstrem menerima (h.154) darinya sesuatu selain yang diterima oleh yang lain, dan tidak satu pun darinya menerima bagian penghubung itu seluruhnya. Jika seseorang membiarkan salah satu dari dua ekstrem bergabung dengan pusatnya, sehingga (hanya) akan ada satu hal saja dalam tempat dan ruang--atau sebut saja sesuka anda--bahwa ekstrem itu tidak selain memasuki pusat (h. 155); dengan demikian menghadapi yang tidak dapat dihadapi (sebelum penetrasinya). Kuantitas yang diterimanya adalah selain (yang diterimanya pada) perjumpaan yang diasumsikan dari penggabungan (h. 156). Pertemuan yang diasumsikan dari penggabungan meniscayakan pertemuan dengan pusat yang juga pertemuan dengan (bilah) ekstrem lain, karena pusat bertemu dengannya (bilah ekstrem), dan posisinya tidak dibedakan (dari ekstrem lainnya) (h. 157), karena tidak ada ruang kosong (kekosongan) pada pertemuan (dengannya). Di titik itu tidak ada pengelompokan, tidak ada penengah, tidak ada ekstrem, dan tidak ada penambahan volume. Bila salah satu hal ini terjadi, tidak ada yang terjadi saat menjumpai keseluruhan dalam penggabungan yang diasumsikan terjadi. Sebaliknya, akan terjadi kekosongan dan apa yang dijumpai akan dipilah (h. 158).

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Ibn Sina Isyarat dan Perhatian : Logika

Oktober 18, 2023
Judul :  Ibn Sina Isyarat dan Perhatian : Logika
Penerjemah : Syihabul Furqon
ISBN : 9786239493264
Harga : IDR 100.000,- 

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

FUNGSI LOGIKA adalah untuk memberikan manusia alat baku yang bila diarahkan dapat menjaganya dari kesalahan berpikir.

Yang saya maksud dengan "berpikir" di sini adalah apa yang dimiliki manusia, untuk penyelesaian, untuk beranjak dari hal-hal yang ada dalam pikirannya—konsepsi atau pembenaran (baik ilmiah, berdasarkan pendapat atau postulat dan telah dipercayai)—ke hal-hal yang tidak ada padanya.

Peralihan (gerakan) ini pasti memiliki susunan dan bentuk dalam elemen-elemen yang ditanganinya. Seperti susunan dan bentuk tersebut bisa jadi terdapat dalam cara yang valid atau tidak valid.

Seringkali cara yang tidak valid menyerupai yang valid, atau memberikan kesan bahwa ia menyerupainya.

Jadi, logika adalah ilmu yang dengannya seseorang mempelajari jenis-jenis gerakan dari unsur-unsur yang diwujudkan dalam pikiran manusia pada mereka yang mencari realisasinya, keadaan unsur-unsur ini, jumlah jenis-jenis susunan dan bentuk dalam pergerakan pikiran yang berlangsung secara valid dan jenis-jenis yang tidak valid.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Tentang Kesedihan

Oktober 18, 2023
Judul :  Tentang Kesedihan
Penerjemah : M.S. Arifin
ISBN : 9786239493264
Harga : IDR 60.000,- 

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

Kesedihan dan keinginan adalah dua hal yang bersifat perenial. Tidak sekarang tidak juga ribuan tahun yang lalu kontennya tetap sama. Di masa ini, kita hanya menghadapi konteks yang berbeda. Informasi berjubel tiap kita membuka medsos, kebanyakan berisi pertunjukan yang membuat kita galau, sedih, merasa belum mapan. Itu gejala purba dengan surah yang berbeda, bentuknya lebih bervariatif.

Ibn Sina menawarkan kepada insan melenial untuk kembali kepada akal sehat. Berpikir adalah jalan utamanya. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan meletakan kembali pencapaian material orang lain sebagai pencapaian duniawi serta menyadari bahwa tak ada seorang pun yang tidak dijerat keinginan duniawi. Artinya, tiap orang yang pamer duniawi di hadapan kita sama-sama dijerat kesedihan karena apa yang sekarang ada di tangannya adalah sesuatu yang pasti lenyap. Lenyapnya objek cinta duniawi berbanding lurus dengan lenyapnya kebahagiaan.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


Ibn Sina dan Perhatian : Metafisika

Oktober 17, 2023
IBN SINA ISYARAT DAN PERHATIAN: METAFISIKA
Judul :  IBN SINA ISYARAT DAN PERHATIAN: METAFISIKA
Penerjemah : Syihabul Furqon
ISBN : 9786239725853
Harga : IDR 100.000,- 

PESAN SEKARANG?
>> KLIK DISINI <<

HARUS anda ketahui bahwa imajinasi [sejumlah] orang dapat dikalahkan oleh [pendapat] bahwa keberadaan itu terindra, bahwa keberadaan yang substansinya tidak ditangkap oleh indera dianggap mustahil, dan apa yang dengan sendirinya tidak ditentukan [koordinatnya] oleh ruang atau posisi, seperti wadag, atau dengan penyebab di mana ia berada [secara fisik], seperti keadaan-keadaan wadag, tidak memiliki kesempatan untuk ada.

Adalah mungkin bagi anda untuk merenungkan yang indrawi dan belajar dari kesalahan pernyataan orang-orang seperti itu; karena anda dan dia yang dipanggil tahu bahwa satu nama mungkin berlaku untuk [hal-hal] yang indrawi ini (h. 8), bukan dengan cara homonim murni, melainkan sejalan dengan makna yang sama, seperti nama manusia. Tidak satu pun dari anda meragukan bahwa nama ini berlaku untuk Zayd dan Umar, dalam arti sebenarnya yang sama-sama ada (maujud). 

Dan makna itu ada, tak luput. Baik yang dapat ditangkap oleh indera atau tidak. Jika jauh dari jangkauan indera, maka penyelidikan kami telah mengeluarkan apa yang tidak terindra dari hal-hal yang terindra. Dan ini yang paling mencengangkan! Sebaliknya, jika itu terindra, maka tidak boleh tidak ia harus memiliki posisi, tempat, kuantitas tertentu, dan kualitas tertentu. Hal itu tidak dapat dirasakan atau dibayangkan kecuali seperti itu (h. 9); sebab tiap-tiap objek indrawi [materil] dan tiap-tiap objek yang dibayangkan tidak boleh tidak harus ditentukan oleh sesuatu dari keadaan ini. Jika demikian halnya, maka  tidak akan sesuai dengan yang tidak dalam keadaan demikian dan dengan demikian tidak akan disebutkan banyak hal yang berbeda dalam keadaan-keadaan itu.

Oleh karena itu, manusia, sejauh realitasnya adalah satu, lebih tepatnya karena realitas primernya tidak memiliki multiplisitas yang beragam, tidak terindra, namun murni dapat dipahami.  Hal yang sama berlaku untuk setiap yang universal.

Untuk mendapatkan buku ini, silahkan pesan dengan mengklik tombol dibawah atau tombol diatas, Terima Kasih.


 
Copyright © Penerbit YAD. Designed by OddThemes